Raden
Mangundikaran (Asal Mula Kelurahan Mangundikaran)
Kecamatan Nganjuk, Kab. Nganjuk, Propinsi Jawa Timur, Indonesia
Kecamatan Nganjuk, Kab. Nganjuk, Propinsi Jawa Timur, Indonesia
Dahulu,
sekitar awal abad ke-15, di mana Kerajaan
Majapahit berpusat di Kediri di bawah kepemimpinan Raja Bhre Wijaya atau dikenal dengan sebutan Brawijaya. Bersamaan dengan kejayaan Raja Brawijaya itu, di sebuah
desa kecil di lereng Gunung Kelud hiduplah seorang perempuan bernama Nyai Anjarini. Perempuan yang memiliki
paras cantik itu hidup bersama seorang putranya yang terlahir dengan segala
kesempurnaan, baik fisik dan jiwanya.
Konon,
anak itu tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan ganteng, bernama Jaka Papak. Hanya saja, Papak terlahir
tanpa kehadiran seorang ayah, pasalnya Nyai
Anjarini saat menggandung Jaka Papak sudah ditinggalkan oleh ayahnya. Tidak
mengherankan karena ketampanan Jaka Papak membuat hati Nyai Anjarini serba
kuatir atas keselamatan putranya.
"Anakku,
jangan pergi jauh-jauh, di luar sana udaranya dingin, nanti bisa jatuh
sakit," tutur ibunya setiap kali Papak hendak bermain bersama teman-teman
sepermainannya.
"Iya
ibu, Papak hanya bermain di bawah pohon mangga saja," sahut Jaka Papak.
"Nanti
kalau ada apa-apa cepat panggil paman Mangun Kusuma atau Bujang Anung biar
dibantu," imbuh ibunya.
Menurut
ceritanya, semasa gadis dulu, Nyai Anjarini pernah bertemu dengan seorang pria
tampan hingga menjalin asmara, dan akhirnya berbuah momongan, yaitu Jaka Papak.
Hanya saja, saat Nyai Anjarini mulai mengandung, ditinggalkan oleh pria itu.
Pria itu tidak lain adalah Raja Brawijaya yang sedang berburu binatang di
lereng Gunung Kelud. Raja Brawijaya ditemani dua orang prajuritnya, yaitu Bujang
Anung dan Mangun Kusuma.
Saat
pergi meninggalkan desa lereng Gunung Kelud itu, kedua prajuritnya disuruh
menemani Nyai Anjarini hingga anaknya terlahir dewasa. Mengingat bayi yang
terlahir adalah laki-laki – keturunan seorang raja, maka dalam merawat penuh
kasih sayang dan kehati-hatian berlebihan. Hanya saja, sikap berlebihan yang
disanjungkan terhadap Jaka Papak tersebut tidak menjadikan hidup Jaka Papak
bahagia. Justru sebaliknya, Jaka Papak merasa terkekang dan terbatasi ruang
geraknya. Kesehariannya hanya dihabiskan untuk kegiatan dalam istana, tanpa
diberi kebebasan untuk berhubungan dengan dunia luar – bergabung bersama rakyat
jelata. Pengekangan terhadap diri Jaka Papak pun berlangsung hingga dewasa.
"Mohon
ampun ibunda, putranda Papak bukan lagi anak kecil yang harus disuapi setiap
hari. Putranda butuh kebebasan seperti anak-anak kebanyakan di luar sana,"
keluh Jaka Papak yang mulai merasakan kejenuhan tinggal dalam sebuah aturan
istana.
"Bukan
ibunda bermaksud mengurung Papak putraku, tapi ingatlah bahwa kecintaan rama
dan ibu melebihi jiwa raga yang melekat di badan ini," bujuk Nyai
Anjarini.
"Rama...?
Siapa rama itu ibunda?... Sebenarnya Papak ini putra siapa?," sahut Jaka
Papak yang terkejut mendengar ucapan ibunya menyebut kata rama.
Karuan
saja, ucapan Nyai Anjarini yang keceplosan tadi membuat suasana menjadi
terganggu.
"Bukan siapa-siapa, dia iya rama Jaka Papak anakku, tapi sudahlah jangan dipikirkan," jawab ibunya sambil meneteskan air matanya.
"Bukan siapa-siapa, dia iya rama Jaka Papak anakku, tapi sudahlah jangan dipikirkan," jawab ibunya sambil meneteskan air matanya.
"Maaf
ibu, mengapa ibu menangis menyawab pertanyaan Jaka? Tidaklah baik ibu terus
membujuk putranda, dan ibu juga selalu menyembunyikan di mana sebenarnya ayah
Jaka berada. Putranda menginginkan kebebasan seperti anak-anak para demang dan
abdi. Mereka bisa bersenda-gurau dengan sesuka hati, sedangkan putranda hanya
menuruti kemauan ibu. Kemana-mana selalu diikuti dan diawasi oleh orang-orang
kepercayaan ibu, hidup ini tidak ubahnya seorang tawanan," bantah Jaka
Papak.
"Putraku
yang sangat ibu sayangi. Tidaklah baik juga putraku bertutur demikian kepada
ibu," tegasnya.
"Iya putraku...! Semua ini ibu lakukan bukan atas kehendak ibu sendiri, tapi ramamu yang berpesan agar ibu tidak menceritakan masalah ini kepada siapa pun termasuk kepada anakku sendiri sebelum waktunya tiba. Sementara, putraku nurut saja petuah rama dan ibu ya!. Tidakkah orang tua selalu menghendaki anak-anaknya selalu hidup bahagia dan selamat dari segala mara-bahaya," sambung sang permaisuri.
"Iya putraku...! Semua ini ibu lakukan bukan atas kehendak ibu sendiri, tapi ramamu yang berpesan agar ibu tidak menceritakan masalah ini kepada siapa pun termasuk kepada anakku sendiri sebelum waktunya tiba. Sementara, putraku nurut saja petuah rama dan ibu ya!. Tidakkah orang tua selalu menghendaki anak-anaknya selalu hidup bahagia dan selamat dari segala mara-bahaya," sambung sang permaisuri.
"Sendika
dhawuh, ibu. Maafkan Papak bila kata-kata putranda membuat hati ibu
gundah," balas Jaka Papak kembali tidak sanggup menandingi tutur kata
orang tuanya. Dengan wajah merunduk, Jaka Papak berucap, "sekarang putranda hanya nurut
apa yang menjadi sabda ibu."
Namun
semua sabda ibunya hanya tersimpan di lahiriah saja. Suatu hari, tanpa
sepengetahuan ibunya, Jaka Papak melarikan diri mencari ayahnya – mengembara
entah ke mana, hingga akhirnya tiba di wilayah Ponorogo.
Di
kota Ponorogo ini, Jaka Papak bertemu dengan seorang tokoh masyarakat bernama
Ki Ageng Kutu alias Ki Demang Surya Alam dalam sebuah pondok kecil. Di pondok
Ki Ageng Kutu ini, Jaka Papak memiliki kesempatan untuk berguru segala ilmu
agama Islam. Mengetahui
Jaka Papak pergi tanpa pamit, membuat Nyai Anjarini bingung. Kedua pengasuh
Jaka Papak, Bujang Anung dan Mangun Kusuma dipanggil untuk menyampaikan
kepergian putranya kepada suaminya di Kediri.
Karuan
saja, usaha pelarian sang putra Raja Kediri tersebut membuat Raja Brawijaya
marah dan memerintahkan Raden Bujang Anung dan Raden Mangun Kusuma untuk segera
membawa pulang putranya.
"Segera
temukan putraku," perintah Brawijaya.
"Mohon
ampun gusti prabu, hamba Bujang Anung dan teman hamba Mangun Kusuma berkenan
menghadap gusti prabu, siap menerima perintah sewaktu-waktu," ucap Bujang
Anung membalas pembicaraannya di hadapan Raja Brawijaya.
"Cari
sampai ketemu putraku, jangan kembali kalau tidak bersama anakku,"
perintah Brawijaya.
"Sendika dhawuh gusti prabu, hamba berangkat!," ucap kedua prajurit itu dan bergegas pergi meninggalkan istana.
"Sendika dhawuh gusti prabu, hamba berangkat!," ucap kedua prajurit itu dan bergegas pergi meninggalkan istana.
Selama
pencarian Jaka Papak, kedua utusan tersebut menyamar sebagai pengamen. Hal itu
untuk mengelabuhi masyarakat Kediri dan sekitarnya agar tidak diketahui
identitasnya. Raden Bujang Anung menyamar dengan mengumbar jenggotnya sebagai
pengendang, sedangkan Raden Mangun Kusuma berpenampilan sebagai pemuda yang
gagah dan tampan sebagai peniup seruling.
Berhari-hari,
kedua utusan itu menyusuri perkampungan hingga akhirnya bertemu dengan Ki Ageng
Kutu di Ponorogo. Kepada Ki Ageng Kutu, kedua utusan menanyakan keberadaan Jaka
Papak yang sudah lama melarikan diri dari istana.
"Mohon
ampun ki sanak, bukannya hamba ini angkuh untuk tidak mengenali ki sanak,
sejujurnya memang hamba tidak mengenal ki sanak sebelumnya," tutur Ki
Demang Surya Alam menerima kedatangan dua utusan Kediri itu.
"Ampun
Ki Ageng, bila kedatangan kami mengejutkan hati Ki Ageng karena tidak memberi
khabar sebelumnya. Kedatangan kami hanya ingin menanyakan, apakah Ki Ageng
mengenali pemuda tampan bernama Jaka Papak," balas Mangun Kusuma.
"Ada
hasrat apa dua tuanku ini mencari Jaka Papak, mohon hamba minta
kejelasan," timpal Ki Ageng Kutu.
"Jaka
Papak adalah putra mahkota Raja Brawijaya yang pergi tanpa pamit. Kami berdua
diutus mencari dan membawanya pulang. Barangkali Ki Ageng mengerti keberadaan
Jaka Papak mohon untuk ditunjukkan, jasa Ki Ageng akan kami sampaikan di
hadapan Gusti Brawijaya," sambung Bujang Anung.
"Kebetulan
sekali ki sanak, gusti Jaka Papak itu murid hamba. Sudah dua pekan ini tinggal
di padepokan yang tidak seberapa layak untuk dijadikan tempat berguru orang
seperti gusti Jaka Papak, tapi kehadiran tuanku sudah terlambat. Sebelum ludah
itu mengering, gusti Jaka Papak minta ijin pergi berguru ke Bojonegoro,"
balas Ki Ageng Kutu. "Kepada
guru siapa kami harus bertemu di Bojonegoro," jelas Mangun Kusuma. "Itu yang hamba kurang paham,
gusti Jaka Papak tidak meninggalkan pesan itu, kepada siapa harus berguru,"
pungkasnya.
Oleh
sebab kedatangan kedua utusan tersebut tidak membuahkan hasil untuk segera
membawa pulang Jaka Papak, masalahnya, Jaka Papak sudah terlebih dulu
meninggalkan pondok Ki Ageng Kutu menuju Bojonegoro. Mendengar kata-kata Ki
Ageng Kutu, kedua utusan tersebut bergegas menuju Bojonegoro sambil membunyikan
kendang dan serulingnya – ngamen dari rumah ke rumah sambil mengamat-amati
sekelilingnya. Suatu
hari, Raden Bujang Anung dan Raden Mangun Kusuma sempat ngamen di wilayah
Nganjuk sebelum melanjutkan perjalanannya menuju Bojonegoro.
Hanya
saja, saat di wilayah Nganjuk di mana tempatnya masih ditumbuhi hutan lebat,
kedua utusan tersebut berkeinginan mendirikan sebuah pondok di tengah hutan.
Berhari-hari waktu dihabiskan untuk membabat hutan di Nganjuk untuk dijadikan
lahan perkampungan dan mendirikan sebuah rumah. Belum
lama menempati rumah barunya, datanglah seorang perempuan yang tidak lain
adalah adik kandung Raden Mangun Kusuma, bernama Roro Suratmi. Perempuan itu
diutus oleh ayahnya untuk segera pulang ke kampung halamannya di lereng Gunung
Kelud. Oleh sebab beban tugas dari seorang raja Kediri untuk segera membawa
pulang sang putra mahkota yang pergi, Raden Mangun Kusuma menolaknya.
Sehingga
Roro Suratmi harus menunggu dan mengikuti perjalan kakaknya untuk mencari Jaka
Papak. Karuan saja, Roro Suratmi tidak berani pulang kalau tidak bersama
kakaknya. Roro Suratmi terpaksa ikut menunggu hingga Jaka Papak berhasil
ditemukan. Selama
hidup di tengah hutan Nganjuk, ketiga anak manusia itu, hidup bahagia dalam
penyamaran. Namun kebahagiaan ketiga orang tersebut tiba-tiba musnah setelah
Raden Bujang Anung menaruh simpati kepada Roro Suratmi. Suatu ketika, Raden
Bujang Anung melamar Roro Suratmi sebagai istri kepada Raden Mangun Kusuma.
Namun Raden Mangun Kusuma menolak adiknya dipersunting temannya sendiri itu
hingga menyebabkan Raden Bujang Anung Marah.
Sejak
itulah, hubungan persabahatan kedua utusan tersebut berubah menjadi permusuhan.
Perkelahian terjadi tidak terelakkan antara pemuda utusan Raja Brawijaya itu.
Tampaknya, Raden Mangun Kusuma kalah adu kesaktian melawan Raden Bujang Anung.
Kendati pun sudah kalah adu jotos, Raden Bujang Anung belum puas melampiaskan
amarahnya, meskipun Raden Mangun Kusuma mencapai ajalnya. Tubuhnya yang sudah
luluh lantak akibat serangan dan tendangan mautnya, terus menghujam ke seluruh
kujur tubuh Raden Mangun Kusuma. Jasad Raden Mangun Kusuma di-sikoro
(disiksa-Jawa) hingga tidak menyerupai tubuh manusia.
Oleh
adiknya, Roro Suratmi, jenasah kakanya disemayamkan di tempat itu juga, hingga
sekarang tempat di mana Raden Mangun Kusuma yang meninggal di-sikoro tersebut
dikenal oleh masyarakat dengan sebutan "Mangundisikoro, atau Mangundikoro,
atau sekarang lebih dikenal dengan sebutan Mangundikaran". Tempat makam
Raden Mangundikaran tersebut kini masih terlihat jelas, berada di belakang
Bangunan Kantor BRI lama, jalan RA. Kartini, Nganjuk.
Sedangkan
Raden Bujang Anung sendiri juga meninggal di Nganjuk, sebelah tenggara dari
makam Raden Mangundikaran, tepatnya di Kelurahan Ganung, Nganjuk. Makam Raden
Bujang Anung tersebut dikenal masyarakat sekitar dengan sebutan "Mbah
Enggot", pasalnya selama dalam penyamaran mencari Jaka Papak selalu
mengumbar jenggotnya. Makam Mbah Enggot terletak di belakang bekas Kantor Kawedanan
– sekarang Perpustakaan Umum Nganjuk.
Lantas,
Roro Suratmi, adik kandung Raden Mangundikaran meninggal di sebelah timur,
tepatnya di Dusun Kedungdandang. Oleh warga setempat, makam Roro Suratmi
dipercaya sebagai cikal bakal – asal mula berdirinya Dusun Kedungdandang.
Hingga sekarang makam Roro Suratmi selalu diperingati saat bersih desa sebagai
punden. Oleh karena kesenangannya terhadap seni wayang kayu, maka setiap acara
bersih desa selalu dipergelarkan pertunjukan wayang kayu.
Konon
menurut ceritanya, sempat digelar pertunjukan wayang kayu di Kedungdandang
tersebut. Ki dalang dan seluruh niyaganya asal Desa Pesudukuh, Kecamatan Bagor
tersebut tidak dibayar dengan uang, melainkan dibayar dengan serimpang kunir
oleh wanita cantik yang berhajatan. Karuan saja, semua menolak, kecuali satu
orang, yaitu tukang rebab. Tukang rebab tersebut menerima serimpang kunir
karena anaknya yang masih bayi sedang sakit. Kunir yang dibawa pulang dipercaya
bisa menyembuhkan penyakit diare anaknya. Sesampai di rumah, di luar dugaan,
serimpang kunir tersebut berubah menjadi emas.
Kabar
serimpang kunir berubah menjadi sebongkas emas kontan menyebar ke mana-mana
hingga ke telinga warga Kedungdandang. Anehnya, ketika ditanyakan kepada orang
yang mempunyai hajat dan menggelar wayangan, penduduk setempat terhenyak.
Pasalnya, menurut warga setempat, tidak pernah digelar pertunjukan wayang kayu
sebelumnya. Apalagi wanita cantik yang baru saja menggelar pertunjukan wayang
kayu tersebut ternyata tidak ada di tempat. Justru tempat yang ditunjuk oleh Ki
dalang wayang kayu sesungguhnya hanya sebatang pohon beringin yang oleh
penduduk setempat selalu dihormati sebagai pepunden – cikal bakal desa
tersebut.
Berdasarkan
cerita tersebut, muncul sebuah mitos yang berkembang hingga sekarang bahwa
apabila ada orang Mangundikaran menikah dengan orang Ganung, salah satu
diantaranya meninggal. Hal ini dikait-kaitkan dengan permusuhan antara dua
utusan Raja Brawijaya, yaitu Raden Bujang Anung (Ganung atau Ngganung) dengan
Raden Mangun Kusuma yang 'di-sikoro'secara kejam oleh temannya sendiri.
Hanya
saja, mitos hanyalah sekadar peringatan bagi siapa saja yang mempercayai. Di
atas mitos masih ada yang lebih pantas untuk diyakini yaitu Allah Subhanahu wa
ta'ala, yang safaatnya melebihi segalanya. Untuk itu, kebenaran yang hakiki bukan
milik manusia, kecuali Allah
SWT.
Sumber : Suwadji, Mantan Lurah
Mangundikaran, Satimin,
warga Kedungdandang, Arsip Pemkab Nganjuk, penulusuran penulis.
0 Komentar